Keraton Surakarta Hadiningrat atau yang lebih populer disebut sebagai
Keraton Solo, hingga saat ini masih menjadi salah satu destinasi wisata
andalan Kota Solo. Hasil warisan budaya dari kerajaan Mataram ini banyak
dikunjungi wisatawan sebagai tujuan wisata sejarah, mengingat keraton
ini pernah menjadi pusat kerajaan Mataram sejak dipindahkannya dari
Keraton Kartasura pada tahun 1744 lalu.
Selama sekitar sepuluh tahun,
Keraton Surakarta menjadi pusat kerajaan Mataram, hingga akhirnya
terjadi perjanjian Giyanti (13 Februari 1755) yang membagi Kerajaan
Mataram menjadi dua yaitu Keraton Kasunanan Surakarta dan Kasultanan
Yogyakarta. Tak hanya itu, pada tanggal 17 Maret 1757 Keraton Kasunanan
Surakarta ini juga harus terbagi lagi menjadi Keraton Surakarta dan
Kadipaten Mangkunegaran melalui Perjanjian Kalicacing Salatiga. Bahkan
setelah Indonesia merdeka tahun 1945 Keraton Surakarta tidak lagi
menjadi pusat kekuasaan, tetapi sebagai pusat kebudayaan.
Sebagai
salah satu pusat dan sumber kebudayaan Jawa, hingga kini arsitektur
Keraton Surakarta masih dipertahankan seperti aslinya, dijadikan sebagai
contoh arsitektur istana Jawa tradisional terbaik sekaligus benda cagar
budaya. Kompleks bangunan keraton juga masih difungsikan sebagai tempat
tinggal raja/sunan beserta rumah tangganya yang masih menjalankan
tradisi kerajaan.
Keunikan dan keindahan arsitektur Keraton Surakarta
ini tak bisa dilepaskan dari peran arsiteknya, salah satunya adalah
Pangeran Mangkubumi yang kelak bergelar Sultan Hamengkubuwono I. Beliau
juga yang menjadi arsitek utama Keraton Yogyakarta. Oleh karena itulah
pola dasar tata ruang kedua keraton tersebut secara umum hampir memiliki
kesamaan.
Sejak awal pembangunannya, Keraton Surakarta dibuat secara
bertahap dengan mempertahankan pola dasar tata ruang yang tetap sama
dengan rancangan awalnya. Pembangunan dan restorasi secara besar-besaran
pernah dilakukan oleh Susuhunan Pakubuwono X (1893-1939) dengan
memasukan nuansa warna putih dan biru dengan gaya arsitektur Jawa-Eropa.
Keraton
Surakarta Hadiningrat memang bisa dibilang unik, dari setiap tempat dan
bangunan yang ada bisa dipastikan memiliki nama dan fungsinya
masing-masing. Penamaan atas tempat dan bangunan di keraton ini tentu
memiliki makna filosofis yang bisa dijadikan sebagai sarana untuk
belajar mengenal kawula dan Gusti-nya (mengenal diri pribadi dan
Tuhannya).
Jika dilihat secara fisik dan diurutkan dari arah utara,
bangunan keraton terdiri dari beberapa kompleks, diantaranya adalah :
Kompleks Alun-alun Lor, Kompleks Sasana Sumewa, Kompleks Siti Hinggil
Lor, Kompleks Kamandungan Lor, Kompleks Sri Manganti, Kompleks Kedhaton,
Kompleks Magangan, Kompleks Sri Manganti dan Kamandungan Kidul,
Kompleks Siti Hinggil Kidul dan Alun-alun Kidul.
Untuk kompleks
Kamandungan Lor hingga Kamandungan Kidul, wilayah ini dikelilingi
dinding pagar pertahanan dengan ukuran lebar sekitar lima ratus meter
dan panjang sekitar tujuh ratus meter. Tembok pagar keraton ini dikenal
dengan Baluwarti. Sedangkan kedua kompleks Siti Hinggil dan Alun-alun
tidak dikelilingi tembok pertahanan. perpusdajateng.id