Buku ini menceritakan tentang penulis yang bernama Nio Joe Lan pada tahun 1942 turut dipenjarakan oleh tentara jepang dan suatu catatan sejarah yang sangat berharga memgenai pengalamannya dan kejadian dalam penawaran oleh jepang.
Sejak awal, alasan Jepang
menangkap dan memenjarakan warga Tionghoa tentu berbeda dengan orang Belanda.
Jika warga Tionghoa memang sudah dianggap musuh Jepang, maka penangkapan atas
orang Belanda selain sebagai bangsa yang harus diperangi karena melakukan
praktek kolonialisme juga didasarkan pada alasan rasial, yaitu hanya karena
orang Belanda berkulit putih. Di dalam penjara Bukit Duri terjadi diskriminasi
antar sesama tawanan, terutama tawanan orang Belanda dalam hal soal makanan.
Jika tawanan Tionghoa hanya diberi jatah makan nasi dan air kangkung dalam satu
hari, tawanan Belanda sudah diberi sarapan roti di pagi hari, semangkuk sup
siang hari dan nasi beserta sup di malam hari. Mendapat perlakuan yang berbeda
tersebut, para tawanan Tionghoa yang diperantarai Tan Tjong Lim menuntut
komandan Jepang supaya diperlakukan sama seperti tawanan Belanda dalam soal
makanan. Bukannya tuntutan itu dikabulkan, para tawanan Tionghoa malah diberi
hardikan: “Kaoe orang
poenja keadahan tida bisa dipersamaken dengen keadahan orang koelit-poeti. Kaoe
orang ada orang jang dimasoeken di dalem lisjt sebagai moesoeh-moesoeh, tapi
marika-marika ditangkep meloeloe kerna marika ada orang koelit-poeti”.
Tidak banyak bekas tawanan jepang yang pernah menulis
buku yang selengkap
dan sesksama ini namun juga sangat menarik.